Kamis, 01 September 2011

Output Ramadlan, Berhati-hati Menjalani Kehidupan


Oleh: Yusuf Awaludin, S.Pd.I 

Pemuda dan Sebuah Apel
Suatu hari seorang Pemuda bernama Zaid sedang berada di tepi sungai. Ia menemukan sebuah apel  tergelatak di bibir sungai. Karena lapar, ia pun memakannya dengan lahap. Setelah apel itu habis, Zaid tersadar bahwa apel tersebut bukan miliknya. Apel itu masih syubhat. Belum jelas status hukumnya, halal atau haram.

Zaid pun segera mencari sumber jatuhnya apel. Ia bermaksud untuk memastikan kehalalannya. Ia khawatir apel yang ia makan, haram untuknya.

Singkat cerita Zaid menemukan sebuah pohon apel. Terlihat ada seseorang yang sedang berkebun. Zaid pun menghampirinya dan meminta agar apel yang telah ia lahap dihalalkan oleh orang itu. Ternyata, orang itu hanya menghalalkan setengah apel. Ia bukan pemilik pohon apel itu. Ia hanya tukang kebun yang mendapat upah setengah dari hasil panennya. Maka, ia pun menghalalkan setengahnya. Separuhnya lagi ia menyarankan Zaid untuk menemui pemiliknya.

Dengan rasa khawatir yang memuncah, Zaid pun segera mencari alamat pemilik pohon apel tersebut. Setelah ditemukan, Zaid menuturkan maksud kedatangannya. Pemilik apel memahami dan merasa takjub dengan sikap Zaid. Ia pun segera menghalalkan setengah apel. Tapi ada syarat yang harus Zaid penuhi. Syaratnya adalah Zaid mesti menikahi putri pemilik apel. Wah, siapa pemuda yang tidak mau menikah? Jika ada, ia bukan golongan Rasulullah karena membenci sunnah yaitu menikah.

Zaid tersentak ketika mendengar penjelasan si pemilik apel. Ternyata gadis yang harus ia nikahi itu adalah gadis yang buta, tuli, bisu dan lumpuh. Kaget dan ternganga Zaid seakan dihantam pukulan hebat.

Dengan rasa cemas dan takut yang kuat kalau-kalau setengah apel itu haram buatnya, Zaid pun menerima syarat yang diajukan pemilik pohon apel. Ia ridha menerimanya demi kehalalan setengah apel tersisa.

Zaid kembali kaget luar biasa. Ternyata gadis yang harus ia nikahi tersebut adalah gadis yang memiliki kesempurnaan akhlak, anggun dan tubuhnya normal tidak seperti yang dijelaskan si pemilik apel.

Setelah diklarifikasi, buta yang dimaksud adalah buta kepada kemaksiatan-kemaksiatan. Mata gadis itu tidak pernah digunakan untuk melihat yang tidak halal dilihat. Tuli yang dimaksud adalah tuli jika harus mendengar pembicaraan yang batil. Telinganya hanya ia gunakan untuk menyimak bacaan Quran, kebaikan dan nasehat. Bisu yang dimaksud adalah mulutnya tidak pernah berbicara yang buruk-buruk, senantiasa basah dengan lantunan-lantunan dzikrullah. Dan, maksud si gadis lumpuh adalah kakinya tidak pernah ia langkahkan menuju tempat-tempat kemaksiatan.

Seketika bahagia menyusuri seluruh ruang hati Zaid. Sudah apelnya halal, ia mendapat bonus gadis cantik dan salehah.

Dari hasil pernikahan Zaid dan gadis salehah tersebut melahirkan salah seorang kader ulama dari generasi ulama fiqih yang masyhur. Beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Subhanallah... Inilah akibat dari kehati-hatian. Kehati-hatian memang lebih dekat dengan keselamatan. Sedangkan sikap ceroboh lebih memungkinkan kecelakaan.

Definisi dan Esensi Takwa
Kisah tersebut merupakan gambaran sikap takwa secara esensial. Takwa itu sendiri berasal dari kata وَقَى – يَقِى – وِقَايَةً  yang berarti terjaga, terpelihara. Menurut para ulama, takwa adalah:
جَعْلُ النَّفْسِ فِى وِقَايَةٍ مِمَّا يُؤْثِمُ
“Menjadikan diri kita senantiasa berada dalam proteksi (perlindungan) dari hal yang dapat menyebabkan dosa”.

Memperkuat definisi dan esensi takwa, mari kita perhatikan dialog antara Umar dan Ubay.

 
Suatu hari Umar, Amirul Mu`minin, bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, “Apa takwa itu?”.
Ubay balik bertanya, “Wahai Pemimpin Kaum Beriman, apakah engkau pernah berjalan di suatu jalan yang penuh dengan duri?”
“Tentu pernah.” jawab Umar.
“Apa yang engkau lakukan saat itu?” tanya Ubay.
“Aku menyingsingkan celanaku. Lalu aku melihat ke tempat-tempat dua kakiku. Aku berjalan selangkah-selangkah karena taku tertusuk duri.” jawab Umar.
Lalu Ubay menandaskan, “Itulah yang dimaksud takwa.”

Dari dialog singkat antara Umar dan Ubay tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran tentang esensi takwa. Menurut Ubay, esensi takwa itu adalah berhati-hati.

Sikap hati-hati adalah penting. Sekai lagi, kehati-hatian memang sangat erat dengan keselamatan. Sebaliknya, kecerobohan lebih dimungkinkan mengundang kecelakaan.

Output Ramadlan
Syariat shaum Ramadlan merupakan educating (pendidikan), training (pelatihan) dan up grading (peningkatan mutu). Mafhum-nya, seorang muslim yang menjalankan shaum Ramadlan sedang digojlok oleh syariat agar berubah menjadi lebih baik, ilmunya bertambah, amalnya berkualitas, dan pribadinya menjadi lebih bertakwa.

Ramadlan itu sendiri memiliki arti “syiddatul harr”, panas yang sangat. Filosofinya, dosa dan maksiat yang dilakukan seseorang akan dibakar hingga hangus oleh panasnya Ramadlan.

Lalu, siapakah yang dosa dan maksiatnya akan terbakar hingga hatinya bersih cemerlang? Jawabannya adalah just muttaqin, hanya orang yang bertakwa.

Lalu, siapakah orang bertakwa itu? Jawabannya orang yang berhati-hati dalam melangkah di kehidupan.

Mari menyimpulkan paragraf tersebut dengan cara berpikir silogisme.

Shaum bertujuan supaya kita bertakwa.
Takwa adalah berhati-hati dalam kehidupan.
Maka, shaum bertujuan supaya kita berhati-hati dalam kehidupan.

Dalam Masalah Apa Kita Harus Berhati-hati?
Pertama, berhati-hati dalam ibadah. Niat harus benar (ikhlas, lillahi ta’ala). Sebab, jenis, jumlah, waktu, tempat dan cara pun harus benar. Dalam arti, yang sudah jelas sunnah harus benar dalam pelaksanaannya. Yang sudahjelas bid’ah tinggalkanlah secara total.

Ibadah yang sunnah saja, jika salah alias tidak sesuai dengan aturan main, bisa mengundang kerugian dan kecelakaan.

Kedua, berhati-hati dalam konsumsi hidup. Jauhi makanan, minuman, pakaian dan konsumsi hidup lain yang haram secara dzat. Selain itu, cara ikhtiar yang haram pun mesti dihindari. Kenapa?

Dalam hadits sahih, dijelaskan bahwa makanan, minuman, pakaian dan konsumsi hidup lain yang haram, akan menyebabkan doa kita tidak dikabulkan oleh Allah swt. meskipun sambil menangis dan meratap.

Ketiga, berhati-hati dalam akhlak. Orang yang shalatnya terjaga, baik shalat wajib maupun shalat sunnat, orang yang senantiasa menjalankan shaum, dan orang yang zakatnya selalu terpenuhi, akan menjadi ahli neraka jika akhlaknya buruk.

Rasulullah saw. bersabda,
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ. قَالُوا: اَلْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ
“Apakah kalian mengetahui, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabata menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah yang tidak memiliki dirham dan perhiasan.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya umatku yang bangkrut itu adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, shaum dan zakat. Tapi ia menghina orang ini, merendahkan orang ini, memakan harta orang ini (secara batil), mengalirkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka pahala kebaikannya diberikan kepada orang ini, dan kepada orang ini. Ketika sudah habis pahala kebaikannya padahal perkaranya belum diselesaikan, maka kesalahan mereka (yang dizalimi)dilemparkan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam api neraka.” (H.R. Baihiaqiy).

Akhlak yang baik adalah ujung tombak dakwah Islam. Banyak peristiwa Islamnya seseorang hanya dengan wasilah akhlak mulia yang ditunjukkan Rasulullah saw.. Pantaslah ‘Izzuddin al-Muqaddasiy menyebutkan:
لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْقَالِ وَأَصْدَقُ مِنْ كُلِّ مَقَالٍ
“Lisan perbuatan lebih fasih daripada lisan ucapan dan lebih jujur dari seluruh perkataan

Keempat, berhati-hati dalam memahami agama. Dalam memahami agama tidak bisa sembarangan. Perlu adanya kualifikasi atau kemampuan dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan. Bagi kita orang ‘awwam, ittiba’ adalah cara terbaik agar tidak terjebak pada kekeliruan sikap. Ittiba’ berarti menerima suatu keputusan syariat dan mengetahui argument atau alasannya. Tentunya alasan yang benar.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar